Wednesday, December 3, 2008

Marketing Politik Berbasis Riset dan Data Lewat Media





Nek pingin jadi wakil rakyat ojo kaya kiyeee laaahhhh!!!

That was totally embarasing . malu-maluin ngisisn-isinke

Marketing Politik Berbasis Riset dan Data Lewat Media
2 11 2008

Oleh : Yayan Sakti

“Kenali musuh, kenali diri sendiri, maka kemenangan tidak akan terancam. Kenali lapangan, kenali iklim, maka kemenangan akan lengkap (Sun Tzu)”

Sekalipun tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik cenderung menurun (Riset Kompas, 2007), tetapi gairah politikus untuk berkampanye terus meningkat. Indikasi ini secara kasat mata terlihat dari maraknya atribut-atribut politikus dalam menjajakan dirinya. Melalui pemasangan iklan layanan masyarakat di media massa, pemasangan spanduk, baliho, stiker, [enerbitan buku dan sebagainya; para politikus itu menawarkan janji untuk membuat hidup sejahtera.

Tentu saja apa yang dilakukan politikus memasang wajahnya di pinggir-pinggir jalan, ditempel di tembok atau pepohonan, bukan tanpa dampak. Paling tidak, public menjadi memiliki awareness atau kesadaran atas keberadaan diri sang politikus itu. Hanya saja yang perlu dicatat bahwa public sebagai penerima informasi memiliki otoritas dalam mempersepsinya. Dan pada gilirannya, perilaku kampanye semacam itu berpotensi melahirkan dampak kesasaran, kesukaan, kemarahan, cemoohan, atau sama sekali tak peduli.

Segala daya upaya para politikus itu dalam ranah komunikasi, termasuk sesi pemasaran politik (political marketing). Bruce Newman (1994) dalam bukunya The Marketing of The President : Political Marketing as Campaign Strategy bahwa saat ini kampanye politik telah berjalan menggunakan kaidah-kaidah bisnis, termasuk prinsip-prinsip pemasaran yaitu : marketing research, market segmentation, targeting, positioning, strategy development dan implementation.

Sayangnya, di Indonesia sejumlah praktek untuk merayu public/ pemilih masih banyak dilakukan dengan cara asal-asalan, tidak terkonsep dan tidak disertai dengan indicator yang jelas. Akibatnya, justru bukan melahirkan dampak dukungan tetapi malah sebaliknya.

Dalam pemasaran politik dikenal salah satunya adalah publisitas politik. Publisitas merupakan upaya mempopulerkan diri kandidat atau institusi partai yang bertarung. Ada empat bentuk publisitas yang dikenal dalam khazanah komunikasi politik. Pertama, dikenal sebagai pure publicity yakni mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial yang natural atau apa adanya. Misalnya saja, bulan Ramadhan dan Idul Fitri merupakan siklus aktivitas tahunan sehingga menjadi realitas yang apa adanya. Kandidat bisa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memasarkan dirinya. Misalnya dengan mengucapkan “Selamat Menjalani Bulan Ramadhan” atau “Selamat Tahun Baru Imlek” dengan embel-embel nama atau photo kandidat. Semakin banyak jenis bentuk pure publicity yang digarap, maka akan semakin populer kandidat.

Kedua, free ride publicity yakni publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau menunggangi pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Misalnya saja dengan tampil menjadi pembicara di sebuah forum yang diselenggarakan pihak lain, menjadi sponsor gerakan anti narkoba, turut berpartisipasi dalam pertandingan olahraga di sebuah daerah kantung pemilih dan lain-lain.

Ketiga, tie-in publicity yakni dengan memanfaatkan extra ordinary news (kejadian sangat luat biasa). Misalnya saja peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir bandang. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang atau partai yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi sehingga imbasnya memperoleh simpati khalayak. Sebuah peristiwa luar biasa, dengan sendirinya memikat media untuk meliput. Sehingga partisipasi dalam peristiwa semacam itu, sangat menguntungkan kandidat.

Keempat, paid publicity sebagai cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media massa. Misalnya, pemasangan advertorial, Iklan spot, iklan kolom, display atau pun juga blocking time program di media massa. Secara sederhananya dengan menyediakan anggaran khusus untuk belanja media.

Bermula dari Riset

Suasana politik di beberapa daerah sudah mulai “memanas”. Para kandidat sudah mulai memasang aksi dan strateginya untuk memperkenalkan diri maupun programnya kepada masyarakat. Termasuk Partai Politik yang menjadi “perahu” untuk membawa kandidat ke pulau pertarungan politik. Partai-partai juga melakukan berbagai cara untuk melakukan seleksi, konvensi, rekrutmen, dan lobi untuk menjaring siapa kandidat yang akan diusungnya menjadi Calon Kepala Daerah, baik yang berasal dari internal maupun eksternal Partainya.

Berdasarkan fakta, Partai Politik sebagai Organisasi Politik yang sudah memiliki jaringan sampai ke level akar rumput (grass root), sangat dibutuhkan oleh para kandidat. Pertama sebagai persyaratan administratif dalam UU Politik Indonesia bahwa salah satu yang berhak-disamping calon independen-mencalonkan Kepala Daerah adalah Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memiliki 15 % perolehan suara atau perolehan kursi DPRD pada Pemilu legislatif.

Kedua, sebagai aset strategis dan mesin politik untuk menggerakkan dan menjalankan strategi dan program pemenangan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh Partai seperti jaringan, SDM, citra maupun strukturnya sampai tingkat yang terbawah. Akan tetapi mengandalkan kekuatan Partai saja belumlah cukup. Apalagi kalau menggunakan logika matematika hasil suara Partai pada Pemilu Legislatif untuk mengukur kemenangan pada Pilkada. Banyak faktor yang menentukan kemenangan kandidat Kepala Daerah, disamping hasil perolehan suara Partai pada Pemilu sebelumnya, efektifitas dan daya gerak sumber daya manusia Partai yang diistilahkan dengan mesin politik partai lebih menentukan.

Kemudian yang sangat penting berikutnya adalah citra dan popularitas kandidat di mata pemilih, strategi marketing, strategi public relation, lama waktu kandidat memperkenalkan dirinya ke tengah masyarakat, kinerja dan track recordnya selama ini, frekuensi dan kualitas penampilan kandidat di media massa, performance, kompetensi, pesona fisik maupun “aura” yang dipancarkan oleh kandidat yang mempengaruhi pasar politik yang terdiri atas tiga bagian yaitu : pemilih, kelompok berpengaruh (influencer groups) dan media massa.

Salah satu bahan utama untuk pemenangan lainnya adalah Riset Politik. Menurut Johnson (2001), dalam sistem Pemilu yang demokratis, riset politik merupakan alat yang vital. Kandidat akan sulit memenangkan persaingan jika tidak mengetahui kekuatan dan kelemahan pesaing, perilaku pemilu pemilih, segmentasi pemilih, peta wilayah dan faktor lainnya. Kampanye dan propaganda menurut kandidat semata, akan menyebabkan berpalingnya pemilih ke kontestan lain karena, apa yang disampaikan tidak sesuai dengan aspirasi pemilih. Atau kalaupun kandidat mengetahui apa aspirasi pemilih, namun jika tidak mengetahui cara-cara yang tepat untuk penempatan substansi yang diinginkan, sangat mungkin akan menimbulkan mispersepsi atau pengaburan makna dari pesan yang disampaikan. Atau boleh jadi juga pesaing melakukan pendekatan dengan cara yang berbeda namun lebih efektif, bisa juga dengan cara yang sama pesaing dapat menggagalkan kemenangan kita karena mereka melakukannya dengan lebih baik.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kemungkinan itu kontestan perlu melakukan riset untuk mengetahui kekuatan dan strategi pesaing. Beberapa kegunaan utama dari riset politik antara lain:
1. Untuk menyusun strategi dan taktik. Strategi kampanye politik tanpa riset bagaikan orang buta yang berjalan tanpa tongkat. Sebaliknya riset tanpa sumber daya strategis seperti desain strategi, orang, dana dan sumber daya lainnya ibarat orang lumpuh yang memahami jalan dan peta akan tetapi tidak memiliki kendaraan untuk menuju tempat yang diinginkannya.
2. Riset untuk memonitor hasil penerapan strategi. Implementasi sebuah strategi, akan menimbulkan respon dari pesaing. Reaksi para pemilih perlu diketahui untuk menerapkan strategi berikutnya. Riset monitor politik berorientasi pada tindakan dan reaksi terhadap kondisi saat ini. Jika hasil riset adalah begini, maka apa tindakan yang akan dilakukan.

Salah satu metode riset yang paling populer adalah dengan poling atau survei. Penyelenggaraan polling memberi input informasi yang relevan untuk membuat strategi marketing politik, diantaranya adalah : membangun citra, menyusun kebijakan, tracking atau memantau kelemahan dan kekuatannya dari waktu ke waktu dan menetapkan pemilih sasaran yang berdasarkan karakter tertentu yang menjadi targetnya. Menurut Shea dan Burton (2001), kita perlu melakukan riset terhadap profil data pesaing. Riset mengenai data pesaing sangat bermanfaat dalam menyusun strategi marketing politik. Riset yang dilakukan adalah untuk memperkirakan apa yang ditawarkan pesaing untuk masa depan (evaluasi prospektif) dan bagaimana reputasinya dimasa silam (evaluasi introspektif).

Evaluasi prospektif kegunaannya adalah untuk memprediksi apa yang ditawarkan kandidat pada pemilih untuk masa depan, sehingga kita bisa memberikan prospektif yang lebih unggul. Sedangkan evaluasi introspektif berguna dengan asumsi perilaku masa lalu merupakan cermin untuk menduga perilaku dimasa depan. Evaluasi introspektif ini juga mesti dilakukan oleh kandidat pada dirinya untuk mengetahui kelemahan dirinya, sehingga ketika kelemahannya diserang oleh pesaing dia dapat mempersiapkan langkah-langkah antisipasinya.

Riset berikutnya yang penting dilakukan adalah riset untuk memantau perkembangan opini publik. Untuk hal ini Johnson (2001) mengajukan 6 jenis riset :
1. focus group analysis, dilakukan beberapa bulan sebelum pemilihan. Idealnya 12 – 14 bulan sebelum pemilihan. Riset dilakukan dengan membentuk empat sampai lima group diskusi yang masing-masing terdiri dari 8 sampai 12 orang.

2. benchmark survey, untuk mengetahui rincian kekuatan dan kelemahan kontestan-kontestan yang bersaing. Pada survey ini diketahui juga peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan dan tantangan atau ancaman yang mesti diantisipasi. Idealnya benchmark survey ini dilakukan 10 hingga 12 bulan sebelum Pemilu/Pilkada dengan melibatkan 500 sampai 1.200 responden.

3. focus group analysis after benchmark, dengan melibatkan beberapa group yang terdiri dari 8 sampai 12 partisipan, untuk mendiskusikan secara mendalam hasil benchmark survey.

4. trend survey yang dilakukan beberapa bulan setelah benchmark poll. Hal ini dilakukan beberapa bulan setelah benchmark poll, ketika kampanye sedang berjalan dimana masing-masing kontestan sudah menjalankan strateginya. Survei ini melibatkan 500 sampai 1.200 pemilih.

5. Dial meter atau tes pasar tentang iklan kontestan dan iklan pesaing berdasarkan hipotesis kandidat sebelum iklan disiarkan. Tes ini biasanya melibatkan 30 sampai 40 orang partisipan untuk melihat bagaimana respon partisipan terhadap iklan yang akan disiarkan.

6. tracking polls, biasanya dilakukan pada minggu terakhir kampanye untuk mengetahui kecendrungan terakhir publik. Biasanya dilakukan dengan melibatkan 400 responden dengan menukar 100 responden setiap 2 malam. Tujuan tracking polls ini adalah untuk mengeluarkan “jurus terakhir” dari kandidat untuk memperebutkan kursi politik.

Berdasarkan keterangan diatas, tinggal bagaimana kesiapan dan kemauan kandidat atau kontestan untuk menerapkan hasil riset yang dilakukan. Berdasarkan ini, kandidat telah melakukan cara-cara kampanye dan pemenangan dengan langkah-langkah yang cerdas, dan bukan yang membodohi pemilih dengan cara-cara yang kurang mendidik seperti menyogok pemilih dengan uang (money politics). Atau dengan politik yang kotor seperti melakukan fitnah atau pembunuhnan karakter terhadap pesaingnya. Akan tetapi mengungkapkan track record negatif/jelek pesaing dalam artian sebenarnya supaya menjadi bahan pertimbangan publik boleh saja sebagai alat kontrol sosial.

Manipulasi Citra Kepopuleran

Realitas politik yang terjadi saat ini, menuntut para politisi perseorangan atau pun partai untuk memiliki akses yang seluas-luasnya terhadap mekanisme industri citra. Yakni, industri berbasis komunikasi dan informasi yang akan memasarkan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan politik. Politik dalam perspektif industri citra merupakan upaya mempengaruhi orang lain untuk mengubah atau mempertahanakan suatu kekuasaan tertentu melalui pengemasan citra dan popularitas. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk berkuasa pun semakin besar.

Khusus dalam ranah politik (pilkada), masa-masa menjelang kampanye, media akan kebanjiran order iklan politik. Pemasaran (marketing) terhadap citra kandidat digeber habis setiap kesempatan dengan berbagai versi tampilan. Ratusan juta biaya pemasangan iklan tidak menjadi masalah, asalkan khalayak diharapkan bisa mengetahui sosok kandidat tersebut. Sisi kognisi dan afeksi khalayak lebih banyak disentuh, lewat jargon dan simbol yang terpampang dalam iklan politik tersebut.

Jika dianalisis, beberapa jargon dan bahasa dalam iklan politik tersebut cenderung seragam. Kandidat lebih banyak secara normatif dan superlatif digambarkan sebagai sosok yang jujur, bijak, pemimpin yang kharismatik, dan mampu mengatasi masalah tanpa masalah (padahal mereka buka pegadaian). Tidak ada penjelasan, bagaimana jargon trsebut diterjemahkan atau dibreakdown pada tataran praksis dan riil. Khalayak kita yang belum cukup melek media akan melahap jargon ini secara tekstual. Terlebih lagi jika jargon ini disandingkan dengan atribut yang dikenakan kandidat untuk lebih menguatkan isi pesan iklan (berkopiah untuk menggambarkan kandidat sangat jujur dan beriman atau memakai jas untuk mencitrakan pemimpin yang bijak).

Kandidat juga bisa terlihat piawai menuangkan pemikiran dan opininya mengatasi semua persoalan lewat artikel di halaman/kolom yang telah ”dibelinya”. Padahal, sangat besar kemungkinan tim sukses kandidat tersebutlah yang meramu setiap artikel yang termuat tersebut. Dalam satu bulan atau lebih, sang calon akan memaparkan persoalan daerah lengkap dengan data-data statistik dan tawaran solusinya.

Ada lagi kecenderungan baru, media menyelenggarakan sendiri poling atau survey berkaitan dengan popularitas kandidat dan kekuatan parpol pengusung kandidat tersebut. Untuk melakukan hal ini, biasanya hanya bisa dilakukan oleh media yang ”sehat dan mapan”. Media yang memiliki divisi litbang yang terbiasa melakukan survey terhadap isu-isu yang tengah menjadi opini publik. Pengumpulan data dalam survey ini biasanya dilakukan melalui wawancara via telepon rumah (fixed phone). Tentu saja, responden dalam survey ini lebih menggambarkan opini orang kota yang ada di kota-kota besar (metropolis), hanya bisa diakses rumah tangga yang memiliki telepon rumah, pertanyaan yang diajukan lebih cenderung bersifat tertutup, dan lebih banyak menyoroti popularitas beberapa sosok yang sudah berseliweran di media.

Hal yang hampir sama juga dilakukan oleh stasiun televisi kita. Menjelang pelaksanaan pilkada sudah menjadi kebiasaan televisi – bahkan surat kabar – melakukan poling melalui SMS masyarakat. Kelemahan poling semacam ini sudah barang pasti rentan terhadap potensi manipulasi. Seseorang bisa saja mengirimkan lebih dari satu kali SMS. Perolehan poling day to day juga mudah dimark-up, ketika telah terjadi konspirasi antara media dengan kandidat yang telah ”membeli” jam tayang poling tersebut. Poling ini lagi-lagi lebih banyak menampilkan popularitas calon yang sudah jelas mengajukan diri atau ada juga yang masih malu-malu untuk mengakui ingin maju sebagai kandidat. Tidak tergambarkan dalam poling, apakah kandidat yang paling populer tersebut signifikan dengan kesukaan publik terhadap dirinya. Atau tidak tergambarkan pula, apakah nantinya orang pasti akan memilihnya dalam pencoblosan meskipun dalam poling kandidat tersebut paling populer.

Hingga kini, belum muncul kebiasaan media untuk menghadirkan sosok kandidat dalam menyelesaikan isu atau persoalan yang tengah muncul ke permukaan. Ketika harga komoditi kedelai naik misalnya, yang membuat para petani dan semua usaha olahan yang menggunakan kedelai sebagai bahan bakunya gulung tikar, bagaimana solusi yang ditawarkan kandidat nyaris tak terdengar. Hingar-bingar pemasaran kandidat ke hadapan publik lewat media, lebih kental aroma seremonial event-event sosial semacam pemberian bantuan korban bencana banjir atau puting beliung, kampanye bike to work, jalan sehat, atau kompetisi sepak bola bertajuk ”X Cup”.

Strategi lain, kandidat menyewa lembaga survey independen untuk menggali tingkat popularitas, kesukaan, dan pilihan orang terhadap dirinya disandingkan dengan kandidat lainnya. Tidak menjadi masalah, jika langkah ini dilakukan demi merancang strategi komunikasi kandidat tersebut di saat sekarang, masa kampanye, hingga menjelang hari-H pencoblosan. Akan tetapi menjadi persoalan ketika hasil survey ini dipublikasikan lewat media (dengan membeli jam tayang televisi atau radio dan mengemasnya sebagai bentuk iklan di kolom atau halaman surat kabar/majalah) dengan terlebih dahulu memanipulasi datanya.

Mewaspadai Konspirasi Media - Politisi
Politik dan media memang ibarat dua sisi mata uang. Media memerlukan politik sebagai makanan yang sehat. Media massa, khususnya harian dan elektronik, memerlukan karakteristik yang dimiliki oleh ranah politik praktis: hingar bingar, cepat, tak memerlukan kedalaman berpikir, dan terdiri dari tokoh-tokoh antagonis dan protagonis.
Politik juga memerlukan media massa sebagai wadah dalam mengelola kesan yang hendak diciptakan. Tidak ada gerakan sosial yang tidak memiliki divisi media. Apapun bidang yang digeluti oleh sebuah gerakan, semuanya memiliki perangkat yang bertugas untuk menciptakan atau berhubungan dengan media.
Dunia politik sadar betul bahwa tanpa kehadiran media, aksi politiknya menjadi tak berarti apa-apa. Bahkan menurut C. Sommerville, dalam bukunya Masyarakat Pandir atau Masyarakat Informasi (2000), kegiatan politik niscaya akan berkurang jika tidak disorot media.
Media memang memiliki kemampuan reproduksi citra yang dahsyat. Dalam reproduksi citra tersebut, beberapa aspek bisa dilebihkan dan dikurangi dari realitas aslinya (simulakra). Kemampuan mendramatisir ini pada gilirannya merupakan amunisi yang baik bagi para politisi, terutama menjelang pemilu.
Yang menjadi masalah bagi politisi adalah bagaimana ia menjalin hubungan muatualisme dengan pihak media; bagaimana ia membangun kesan tertentu dengan memilih latar belakang (pada televisi) saat bercakap-cakap dengan media; bagaimana ia mampu meyakinkan media bahwa ia dan aksinya adalah penting. Semua dilakukan dengan mengharapkan imbalan berupa publisitas.
Namun pada saat yang sama, media massa juga harus berpikir bahwa ia tidak diperkenankan mengadopsi kepentingan-kepentingan tersebut secara berlebihan. Salah-salah, ia akan menjadi bagian dari program politik sebuah golongan politik. Dan tak mudah memang membuat garis demarkasi apakah sebuah media prorakyat atau tengah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang juga mengklaim sebagai pejuang kerakyatan.
Pada sisi lain, kepentingan media akan informasi juga telah membuat celah tersendiri bagi orang-orang tertentu. Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang begitu haus akan publisitas. Mereka dengan cerdas mengemas berbagai peristiwa sehingga ia bisa selalu muncul di berbagai media. Orang seperti ini disebut sebagai medialomania. Medialomania adalah penyakit doyan menjadi narasumber. Kecenderungan seperti ini biasanya terdapat pada politisi atau aktivis yang masanya sudah lewat namun tetap ingin berada di kancah politik.
Bagi orang seperti ini, media adalah kendaraan politik. Ia mampu membangun relasi dengan orang-orang internal media serta pandai membungkus peristiwa melalui komentar-komentar atau aksi-aksi yang sesuai dengan selera wartawan. Meski tak lagi signifikan bagi perkembangan kualitas politik, hubungan baiknya dengan media membuat media atau wartawan tak memiliki banyak pilihan. Orang yang “gila” publisitas itu kerap memberi fasilitas seperti konferensi pers hingga “amplop”. Ia memberikan dirinya sebagai teman akrab yang mudah dicari oleh wartawan. Dan media, tanpa sadar, telah terjebak menjadi media politik dari orang yang bersangkutan.
Sinergi media dengan politik sebenarnya sah-sah saja. Maksudnya, tak ada larangan bahwa sebuah media menjadi media politik. Setiap media membawa misi politiknya masing-masing. Yang utama adalah apakah tujuannya untuk kebenaran dan kesejahteraan rakyat atau tidak. Hak setiap orang untuk berserikat dan menyampaikan gagasan-gagasannya. Kebebasan sudah datang untuk setiap orang dalam menyampaikan sikap politiknya. Dan tidak ada yang lebih baik dari media dalam menyalurkan hasrat tersebut.
Secara sederhana, pendapat ini memang benar. Namun tatkala dipraktekkan, sulit baginya untuk keluar dari kepentingan diri sendiri demi kepentingan publik. Wartawan sebaiknya memisahkan diri dari dunia politik. Ia harus memilih antara kedua ranah tersebut. Alasannya, keduanya memiliki fungsi dan idealisasi yang berbeda. Keduanya tak dapat berjalan seiringan karena tak selamanya kepentingan sebuah golongan politik menyuarakan kepentingan yang lebih besar atau nasional; sementara media yang menjadi kendaraan politik beroperasi secara lebih besar.
Media yang berpolitik bisa menyesatkan para pembaca, pendengar, atau pemirsa. Sebab, pemilihan narasumber, pemilihan waktu atau ruang bagi suatu sosok atau peristiwa, serta keseimbangan pelaporan atas suatu fakta akan menjadi bias dengan sengaja. Yang menjadi lawan politik dari pemilik media dengan sendirinya akan tereliminir. Cara pandang politisi dan wartawan terhadap informasi berbeda.
Media memang tidak mungkin bersikap apolitis. Begitu juga politik. Keduanya saling membutuhkan. Namun, menurut hemat penulis, biarlah keduanya saling berinteraksi sebagai dua pihak yang sejajar. Jika keduanya berselingkuh, keniscayaan akan bias media justru akan semakin menjadi-jadi. Dan korbannya adalah kebenaran itu sendiri, serta rakyat yang berhak untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kesamaan utama antara politik dan media ada pada hubungannya dengan orang banyak. Kedua ranah tersebut membutuhkan dan dibutuhkan oleh masyarakat, yang anonim, dalam melakukan operasi-operasi rutinnya. Politik berurusan dengan ideologi, dan topik ideologi tentu saja menyangkut kehidupan sosial rakyat. Sementara media adalah jembatan antara topik atau tema yang diangkat dengan rakyat yang tersebar. Secara teoritis, keduanya bisa berjalan dengan harmoni. Media massa bisa memediasi kegiatan politik dari para politisi kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media juga bisa memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi. Media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Namun demikian, permasalahannya adalah, sejauh apa media bisa bertindak adil atas berbagai kepentingan yang dimediasinya? Ada begitu banyak kepentingan yang terjadi, dan bagaimana media massa menempatkannya secara proporsional? Apa yang menyebabkan sebuah kegiatan politik dari golongan tertentu lebih dikedepankan ketimbang kepentingan politik lain dari golongan yang lain juga?
Lebih dari itu, masalahnya bukan hanya terletak pada bagaimana bertindak adil, tetapi juga bagaimana gemuruh aktivitas politik itu bisa selaras dengan empat fungsi media massa, yakni memberikan informasi, memberikan pendidikan, memberikan hiburan, dan melakukan kontrol sosial.

Sumber : http://yayansakti.wordpress.com/2008/08/08/marketing-politik-berbasis-riset-dan-data

No comments: